Ohhh…” desisku.
“Ahhh…” Eki ikut terpekik tertahan. Wajahnya memerah. Tapi aku merasakan pantatnya sedikit dinaikkan merespon selangkanganku.
Slepppp…!! kembali kontol itu menusuk ke dalam lobangku. Yang mengherankan, suamiku diam saja, entah karena dia kaget atau apa. Hanya aku lihat wajahnya ikut memerah dan sedikit membuka
mulutnya, mungkin bingung juga untuk bereaksi dengan situasi aneh ini.
Aku diam saja menahan napas sambil menguatkan tanganku yang menahan tubuhku. Tanganku berada di sisi kanan dan kiri si Eki. Sementara Eki dengan wajah merah padam menatap mukaku dengan panik. Agak mangkel juga aku lihat mukanya, panik, takut, tapi kok kontolnya tetap tegang di dalam tempikku. Dasar anak mesum, pikirku.
Tapi aneh juga, aku justru merasakan sensasi yang luar biasa dengan adanya kontol anak yang sudah kuanggap saudaraku sendiri itu di dalam tempikku. Agak kasihan juga melihat mukanya, dan juga muncul rasa sayang. Pikirku, kasihan juga anak ini, dia sangat bernafsu mengintip kami, dan juga apalagi yang dikawatirkan, karena kontolnya sudah terlanjur menusuk ke dalam tempikku.
Aku melirik suamiku sambil tetap duduk di pangkuan si Eki. Suamiku tetap diam saja. Agak kesal juga aku lihat respon mas Prasetyo. Tiba-tiba pikiran nakal menyelimuti. Kenapa tidak kuteruskan saja persetubuhanku dengan Eki, toh kontolnya sudah menancap di tempikku. Apalagi kalau lihat muka hornynya yang sudah di ubun-ubun, kasihan lihat Eki kalau tidak diteruskan.
Dengan nekat aku pun kembali menekan pantatku ke depan. Tempikku meremas kontol Eki di dalam.
Merasakan remasan itu, Eki terpekik kaget. Suamiku mendengus kaget juga.
“Dik, a-a-apa yang kau lakukan?” kata suamiku gagap.
Aku diam saja, hanya saja aku mulai menggoyang pantatku maju mundur.
Suamiku melongo sekarang. Wajahnya mendekat melihat mukaku setengah tak percaya. Eki tidak berani melihat suamiku.
Dia menatap wajahku keheranan dan penuh nafsu.
“Mas… aku teruskan saja ya, kasihan si Eki. Apalagi khan sudah terlanjur masuk, toh sama saja…” bisikku berani.
Aku tak bisa lagi menduga perasaan suamiku. Kecelakaan ini benar-benar di luar perkiraan kami semua. Tapi suamiku memegang pundakku, yang kupikir mengijinkan kejadian ini. Entah apa yang ada di pikiranku, aku tiba-tiba sangat ingin menuntaskan nafsu si Eki.
“Ahh… hh.. hh… ughh!!” Si Eki mengerang-erang sambil tetap berbaring di rerumputan di halaman rumah kami.
Kembali aku memaju-mundurkan pantatku sambil meremas-remas kontol kecil itu di dalam lobangku. Remasanku selalu bikin suamiku tak tahan karena aku rajin ikut senam. Apalagi ini si Eki, anak ingusan yang tidak berpengalaman.
Tiba-tiba, karena sensasi yang aneh ini, aku merasakan orgasme di dalam vaginaku. Jarang aku orgasme secepat itu. Aku merintih dan mengerang sambil memegang erat lengan suamiku. Banjir mengalir dalam lobangku. Otomatis remasan dalam tempikku menguat, dan kontol kecil si Eki dijepit dengan luar biasa.
Eki meringis dan mengerang. Pantatnya melengkung naik dan… crooooott-crooooott-crooooott…!! Cairan panasnya meledak membanjiri rahimku.
Aku seperti hilang kendali, semua tiba-tiba gelap dan aku diserbu oleh badai kenikmatan… Ohh, aku terkulai lemas sambil menunduk menahan tubuhku dengan kedua tangan. Nafasku terengah-engah tidak karuan. Sejenak aku diam tak tahu harus bagaimana.
Aku dan suamiku saling berpandangan. “Dik, I-Eki gak p-pakai kondom.” kata suamiku terbata-bata.
Kami sama-sama kaget menyadari bahwa percintaan itu tanpa pengaman sama sekali, dan aku telah menerima banyak sekali sperma dalam rahimku, sperma si anak ingusan. Ohh… tiba-tiba aku sadar akan risiko dari persetubuhan ini. Aku dalam masa subur, dan sangat bisa jadi aku bakalan mengandung anak dari Eki, bocah SMP yang masih ingusan. Oohhhh…
Pelan-pelan aku berdiri dan mencabut kontol Eki dari tempikku. Kontol itu masih setengah berdiri dan berkilat basah oleh cairan kami berdua. Aku dan suamiku menghela nafas. Cepat-cepat aku memperbaiki dasterku. Dengan gugup, Eki juga menaikkan celananya dan duduk ketakutan di rerumputan. porno
“Ma-ma’af, Bu..” akhirnya keluar juga suaranya.
Aku menatap Eki dengan wajah seramah mungkin. Suamiku yang akhirnya pegang peranan.
“Sudahlah, Ndun. Sana kamu pulang, mandi dan cuci-cuci!” perintahnya tegas.
“Iya, om. Ma-maaf ya, Om,” kata Eki sambil menunduk.
Segera dia meluncur pergi lewat halaman samping.
“Masuk!” suamiku melihat ke arahku dengan suara agak keras.
Gemetar juga aku mendengar suamiku yang biasanya halus dan mesra padaku. Aduuh, apa yang akan terjadi?
Kami berdua masuk ke rumah, aku tercekat tidak bisa mengatakan apa-apa. Tiba-tiba pikiran-pikiran buruk menderaku, jangan-jangan suamiku tak memaafkanku. Ohh, apa yang bisa kulakukan?
Di dalam kamar tangisanku pecah. Aku tak berani menatap suamiku. Selama ini aku adalah istri yang setia dan bahagia bersama suamiku, tapi malam ini… tiba-tiba aku merasa sangat-sangat kotor dan hina. Agak lama suamiku membiarkanku menangis. Pada akhirnya dia mengelus pundakku.
“Sudahlah bu, ini khan kecelakaan.” katanya.
Hatiku sangat lega. Aku menatap suamiku, dan mencium bibirnya. Tiba-tiba aku menjadi sangat takut kehilangan dia. Kami berpelukan lama sekali.
“Tapi, mas… kalau aku hamil… gimana?” tanyaku memberanikan diri.
“Ah.. mana mungkin, dia khan masih ingusan. Dan kalau pun Dik Idah hamil, khan gak papa, si Sangga juga sudah siap kalau punya adik lagi,” kata suamiku.
Jawaban itu sedikit menenangkan hatiku. Akhirnya kami bercinta lagi. Kurasakan suamiku begitu mengebu-gebu mengerjaiku. Apa yang ada di pikirannya, aku tak tahu, padahal dia barusan saja melihat istrinya disetubuhi anak muda ingusan. Sampai-sampai aku kelelehan melayani suamiku. Pada orgasme yang ketiga aku pun menyerah. porno
“Mas, keluarin di mulutku saja ya… aku tak kuat lagi,” bisikku pada orgasme ketigaku ketika kami dalam posisi doggy.
Suamiku mengeluarkan kontolnya dan menyorongkannya ke mulutku. Sambil terbaring aku menyedot-nyedot kontol besar itu. Sekitar setengah jam kemudian, mulutku penuh dengan sperma suamiku. Dengan penuh kasih sayang aku menelan semua cairan kental itu.
Hari-hari selanjutnya berlalu dengan biasa. Aku dan suamiku tetap dengan kemesraan yang sama. Kami seolah-olah melupakan kejadian malam itu. Hanya saja, Eki belum berani main ke rumah. Agak kangen juga kami dengan anak itu. Sebenarnya rumah kami dekat dengan rumah Eki, tapi aku juga belum berani untuk melihat keadaan anak itu. Hanya saja aku masih sering ketemu ibunya, dan sering iseng-iseng nanya keadaan Eki. Katanya sih dia baik-baik saja, hanya sekarang lagi sibuk persiapan mau naik kelas 3 SMP.
Seminggu sebelum bulan puasa, Eki datang ke rumah mengantarkan selamatan keluarganya. Wajahnya masih kelihatan malu-malu ketemu aku. Aku sendiri dengan riang menemuinya di depan rumah.